Sejak dahulu Valentine diperingati sebagai hari kasih sayang. Banyak orang berbondong-bondong untuk membelikan hadiah bagi orang terkasihnya berupa coklat, bunga, boneka, kue, dan hal-hal special lainnya. Pengungkapan kasih sayang juga tidak melulu ditujukan pada pasangan, namun juga bisa pada orangtua, teman, atau adik/kakak.
Sayangnya dibeberapa tempat perayaan Valentine ini dibatasi atau bahkan dilarang. Hal ini dikarenakan nilai-nilai Hari Valentine dianggap tidak sesuai dengan salah satu ajaran agama dan budaya tertentu. Pelarangan ini salah duanya dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Depok di tahun 2020 dan Bekasi di tahun 2021.
Kedua instansi tersebut menyebarkan surat edaran khususnya ke sekolah-sekolah di sekitaran Depok dan Bekasi yang berisikan pelarangan merayakan Hari Valentine. Adapun dalam surat dari kedua instansi tersebut memiliki 4 poin yang sama yakni:
- Melarang peserta didik untuk merayakan hari Valenntine baik di dalam maupun di luar sekolah.
- Meminta guru dan orangtua untuk mengawasi anak-anaknya agar tidak ikut merayakan Valentine
- Menanamkan sikap dan perilaku karakter/kepribadian dalam lingkungan sekolah
- Mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap kegiatan yang dimaksud
Dari berbagai artikel yang beredar mengenai sura tersebut, banyak yang memembahas bahwa alasan dari Dinas Pendidikan Kota Depok dan Bekasi mengeluarkan anjuran ini adalah karena Valentine tidak sesuai dengan budaya Indonesia dan ajaran Agama Islam. Padahal seharusnya kedua instansi tersebut dapat lebih bijak dalam mengelola anjuran yang ingin disebarkan. Sehingga surat ini tidak terkesan berasal dari salah satu agama tertentu.
Valentine dan Berlatih untuk Menjadi Sensitif
Sejatinya perayaan Valentine ini justru bisa mengajarkan anak-anak untuk mengekspresikan sensitifitas mereka. Banyak anak laki-laki khususnya merasa bahwa sensitifitas itu merupakan sesuatu yang harusnya tidak dimiliki oleh laki-laki karena tidak maskulin. Pendidikan gender di Indonesia masihlah sangat sempit sehingga pembagian peran gender tradisional seperti maskulin dan feminine seperti ini masih sangat ajeg. Sehingga tak jarang perilaku-perilaku ‘beraroma’ maskulinitas toksik masih dianggap normal di Indonesia.
Valentine sebagai hari yang memang dikhususkan untuk mengungkapkan rasa kasih sayang memfasilitasi anak laki-laki untuk bisa mengekspresikan sensitifitas mereka tanpa takut dicap tidak maskulin. Karena memang di Hari Valentine semua orang melakukannya. Dari sini, anak-anak dapat dilatih untuk sedikit demi sedikit untuk bisa mengekspresikan perasaan mereka dan menganggap bahwa hal tersebut adalah wajar untuk dilakukan. Sensitifitas penting dimiliki oleh setiap anak guna mereka bisa mengenali diri dan juga kondisi orang-orang disekitarnya.
Manusia adalah makhluk yang kompleks, tidak cukup dinilai dengan penilaian kulit luar atau analisis angka saja. Untuk mengenal sesama manusia, dibutuhkan sensitifitas. Banyaknya miskomunikasi, intoleransi dan konflik juga salah satunya karena manusia tidak bisa mengerti manusia lainnya. Maka dari itu, dibanding melakukan pelarangan terhadap Valentine, ada baiknya peserta didik diajarkan makna dari hari tersebut. Bahwa perasaan manusia itu adalah hal yang nyata dan perlu diekspresikan, bahwa sensitifitas itu penting untuk menjaga kehidupan bersama di dunia. Jadi, untuk apa berfokus pada sisi buruk dari sesuatu jika ia sebenarnya memiliki kesempatan untuk menghasilkan hal-hal baik.
Referensi:
https://www.tribunnews.com/regional/2021/02/14/lima-poin-isi-surat-dinas-pendidikan-kota-depok-yang-larang-siswa-rayakan-hari-valentine
https://www.kompas.com/tren/read/2020/02/12/203000665/ramai-surat-edaran-larangan-perayaan-valentine-bagi-siswa-ini-penjelasannya?page=all
Leave A Comment