Media sosial kini tumubuh bagai jamur di musim hujan, perkembangannya di tengah masyarakat subur seiring mudahnya akses internet. Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang dan dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial (Kominfo.go.id, 2020).
Manusia modern seakan dijejali dengan citra dan informasi, hiperealitas dari media sosial mengubah yang privat menjadi public, mengkaburkan yang tidak nyata dengan yang nyata (Barker, 2004: 303). Media sosial bukan lagi merupakan ‘jendela dunia’, ia merupakan rangkaian realitas yang dijahit sedemikian rupa hingga menghasilkan representasi tertentu yang dianggap sebagai suatu realitas sesungguhnya. Representasi terbaik yang diciptakan dalam media sosial ditelan mentah-mentah oleh para pengguna dan ditetapkan sebagai standar ideal dalam kehidupannya.
Salah satu bentuk representasi yang mampu mempengaruhi tatanan kepribadian banyak pengguna media sosial adalah mengenai citra diri. Di mana para pengguna khususnya kalangan remaja disuguhkan citra diri ideal yang harapannya dapat mereka gapai sebagai prasyarat menjadi bagian dari masyarakat. Sebagai subjek, manusia tidak terlepas dari dari proses-proses sosial yang menciptakan diri sebagai ‘subjek untuk’ diri kita dan orang lain. Remaja sebagai bagian dari pengguna media sosial membentuk identitas diri melalui konsepsi yang mereka yakini, dan juga membentuk identitas sosial melalui harapan dan pendapat orang lain. Identitas sosial inilah yang sedang haus untuk mereka penuhi.
Identitas sosial tersebut berupa citra diri yang meliputi tampilan fisik, daya tarik fisik, dan kecantikan. Citra diri ini timbul melalui interaksi sosial. Ia memperoleh konsep mengenai tubuhnya melalui interpretasi status diri menurut pandangan orang lain. Maka dari itu, penilaian mereka terhadap citra diri mereka tergantung relasinya dengan orang lain (Melliana, 2006: 83). Inilah kesalahan fatal yang terjadi, di mana asosiasi citra diri yang dilakukan para pengguna media sosial didasarkan atas relasinya di platform tersebut. Sehingga semakin tinggi standar yang disuguhkan, semakin rendah ia memandang citra dirinya sendiri.
Hal ini semakin diperparah dengan adanya para selebritis media (atau lebih sering dikenal dengan influencer) yang tampaknya sangat berusaha keras menyajikan hal terbaik dari dirinya di media sosial. Urusan fisik menjadi pokok bahasan serius berikutnya yang menggiring para remaja pengguna media sosial ini untuk semakin terjebak dalam lubang hitam kecemasan dan ke-tidak terimaan terhadap diri. Tubuh dan wajah menjadi instrument yang berguna sebagai alat ukur kesesuaian diri mereka terhadap masyarakat sekitar –paling tidak hal tersebut yang para remaja pengguna media sosial anut.
Standar kehidupan yang tidak realistic –yang tidak jarang sulit digapai itu– kini menyebabkan tidak sedikit remaja yang hidup dalam perburuan standar ideal dan dicekam rasa cemas jika tidak dapat menggapainya. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan tindakan aktif seperti eating. Citra-citra ideal yang terus menerus dikonstruksi dan ditanamkan seta disosialisasikan lewat/oleh media ini perlahan tapi pasti telah berubah menjadi standar budaya mengenai fisik yang mengendap dalam kesadaran tidak sedikit pengguna media sosial. Standar inilah yang kemudian menggiring sejumlah pengguna media ke perburuan akan standar ideal yang tanpa akhir yang mungkin saja akan menenggelamkan mereka pada penjara jemas dan alienasi tanpa akhir (Ibrahim, 2006: 267).
Sayangnya apabila gejala-gejala tersebut tidak tertangani dengan baik nantinya akan memperparah kondisi mental para remaja tersebut. Mereka yang sedang dalam masa pencarian jati diri tenggelam dalam lautan informasi tanpa mengetahui dasar benar atau salah. Selanjutnya, mereka sudah menemukan diri mereka terdiagnosis depresi, anxiety, atau bipolar misalnya. Pencarian akan alasan rasa cemas yang mereka alami justru berujung pada diagnosa mandiri yang tentu saja cukup berbahaya apabila tidak terkonfirmasi oleh professional. maka dari itu jurnal ini bertujuan untuk mengetahui gejolak dalam diri remaja sebagai akibat dari masifnya paparan informasi dari media sosial serta dampaknya setelah hal tersebut terjadi pada diri mereka.
Refrensi:
Barker, C. (2004) Cultural Studies: Teori & Praktik. Kreasi Wacana: Bantul
Ibrahim, I. S. (2006) Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Jalasutra: Yogyakarta
Kominfo.go.id. (2020) Kominfo: Pengguna Internet di Indonesia 63 Juta Orang. Diakses dari https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+63+Juta+Orang/0/berita_satker pada: 20 Oktober 2020
Melliana, A. (2006) Menjelajah Tubuh: Perempuan dan Mitos Kecantikan. PT. LKiS Printing: Bantul
Leave A Comment