Sebenarnya guyonan yang biasa dilontarkan antar sesama teman terkadang tak pernah terlalu dianggap serius. Lalu bagaimana jika guyonan tersebut dilakukan secara berlebihan sehingga melukai hati mereka? mungkin saja ia akan memendam rasa kesal tersebut atau bahkan mengadukannya terhadap seseorang.

Seperti judul dari tulisan ini, kerap kali kita menggunakan warna kulit teman kita sebagai bahan guyonan. Seperti yang kita tahu jika orang-orang Indonesia sangat mengaggung-agungkan warna kulit yang putih bersih tanpa noda, bagi mereka begitulah warna kulit yang sempurna, khususnya bagi para remaja yang sangat memperhatikan penampilan. Sehingga tidak jarang jika salah satu teman mereka yang secara tidak beruntung memiliki warna kulit yang lebih gelap akan dipanggil “si hitam”, “blacky”, atau sebutan lainnya yang menjurus pada warna gelap kulit. Atau bahkan sebutan “Si Hitam Manis” untuk para perempuan mengandung makna rasisme, dimana disebutkan warna hitam. Jika ingin memuji orang tersebut manis, mengapa harus disisipkan kata hitam?

Bahkan dalam buku Cultural Studies karangan Chris Barker (351:2004) mengungkapkan bahwa gambaran remaja putri yang ideal yang digambarkan oleh  majalah remaja di Inggris dipenuhi dengan politik feminis bahwa seakan bagi remaja putri yang ingin mencari kerja didalamnya akan lebih diuntungkan apabila memiliki kulit putih mulus sebagaimana yang diidamkan oleh kebanyakan remaja putri Inggris. Oleh karena itu, diskirminasi mengenai warna kulit lebih sering dirasakan oleh para kaum perempuan.

Lebih jauh lagi, pada masa sebelum dibentuknya UU mengenai rasisme di Indonesia, lontaran kata-kata seperti di atas bebas diucapkan. Kalaupun salah satu pihak merasa tersinggung maka permasalahan tersebut tidak akan dapat dibahas melalui jalur formal atau jalur hukum. Bahkan sapaan “hei hitam” diidentikan untuk teman yang berasal dari daerah timur yang memang secara genetik memiliki warna kulit yang lebih gelap. Hal ini dapat dilihat dari film, sitcom, ataupun acara televise yang kerap kali menggunakan warna kulit hitam sebagai bahan candaan. Anggap saja di beberapa film Warkop DKI yang cukup terkenal pada era orde baru, kriteria wanita cantik yang diidam-idamkan oleh para pemerannya sudah pasti memiliki kulit putih bersih, ambil saja contoh di beberapa judul film Warkop yakni CHIP dan Maju Kena Mudur Kena yang muncul pada era orde baru. Selain itu, keterangan yang didapat dari pengalaman para orang tua mengenai kehidupan sosial mereka dulu (pada orde baru) panggilan-panggilan seperti si Hitam sangatlah lumrah. Bahkan beberapa teman mereka dipanggil dengan akhiran kata “Badeng” atau “selem” (dalam bahasa Bali berarti hitam), seperti “Tu Badeng” atau “Yan Selem”. Kata “Badeng” dan “Selem” ini selain sebagai ciri mereka juga sebagai pembeda dengan teman yang lainnya. Contohnya “Tu Badeng” artinya si Putu namun yang memiliki kulit hitam.

Namun setelah disahkannya UU ITE, rasa kesal atau rasa tersinggung dari orang-orang yang anda panggil si hitam dapat saja berujung pidana pada anda yang memanggilnya seperti itu. UU ITE  nomor 40 tahun 2008 mengenai penghapusan diskiriminasi ras dan etnis dibentuk oleh pemerintah untuk menjamin tidak terjadinya diskriminasi yang terjadi menurut Ras dan Etnis. Berdasarkan pasal 1 angka 1 UU Penghapusan Diskriminasi, diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian atau pengurangan pengakuan dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Apabila terdapat perbuatan dengan melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum yang dapat didengar orang lain seperti disebut pasal 4 huruf b angka 2 UU Penghapusan Diskriminasi, maka pelakunya dikenakan sanksi pidana sebagaimana disebutkan pasa 16 UU Penghapusan Diskriminasi yakni:

“setiap orang yang dengan sengaja menunjukan kebencian atau rasa benci kepada oranglain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000.000”.

Untuk pasal diatas dapat diterapkan jika seandainya korban merupaka seorang yang memang berasal dari rasa tau etnis yang memiliki kulit hitam seperti di Papua atau di daerah Indonesia Timur lainnya. Lantas bagaimana dengan korban yang warna kulitnya berubah hitam, atau dulu memiliki kulit putih namun karena terlalu sering terpapar sinar matahari lalu berubah kecoklatan? Pasal diatas tidak dapat digunakan dalam kasus tersebut. Namun tindakan menjelek-jelekan terhadap warna kulit dalam hukum pidana juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penghinaan yang terdapat dalam pasal 315 KUHP yang berbunyi:

“tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan dan diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ratus lima ratus rupiah”

Dengan demikian bagi masyarakat yang merasa didiskriminasi atas panggilan atau guyonan terhadap fisik dapat mengadukannya sesuai dengan pasal-pasal diatas. namun perlu diingat lagi bahwasanya tindakan seperti ini hendaklah dipilah, atau tidak asal dalam memberi pengaduan.

 

Refrensi:

Barker, C. (2004) Cultural Studies, Teori dan Praktik. Bantul: Kreasi Wacana

Admin (2013) Langkah hukum jika dihina karena memiliki kulit hitam. Diakses pada: 13 April 2017 dari www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52b70ce9c4865/langkah-hukum-jika-dihina-karena-memiliki-kulit-hitam