Pasca membuminya akses internet dan smartphone, penggunaan jejaring media sosial sebagai media komunikasi menjadi semakin masif. Media sosial mampu menghapus batasan-batasan ruang dan waktu tiap individu maupun kelompok untuk bisa bersosialisasi. Ia menjadi candu bagi masyarakat karena mampu menghadirkan pengalaman maya menjadi terasa riil. Misalnya saja seseorang seseorang melakukan transaksi secara maya, namun hasilnya tersebut dapat ditransfer ke rekening pribadi dan saat kita uangkan, ia bisa berada dalam genggaman nyata tangan kita.

Selain itu, banyak orang yang terpesona oleh sosial media karena kemampuannya memberikan kita keleluasaan akses terhadap dunia. Ia tidak hanya membuat kita dapat menyaksikan dunia luar yang ditampilakan di dalamnya, tetapi juga ikut bertindak secara nyata dalam dunia tersebut tanpa perlu adanya kehadiran fisik (telepresence). Menurut Karina Supelli (dalam Hardiman, 337:2010), gejala inilah yang dapat melahirkaan komunitas maya (cybercommunity) serta ruang huniannya yang disebut dengan ruang maya (cyberspace).

Banyak orang berpikiran bahwa kehadiran sosial media ini seolah memindahkan dunia nyata ke ruang maya, atau mewujudkan apa yang ada di ruang maya ke dalam dunia nyata. Namun hal ini merupakan pemahaman yang kurang tepat, karena ruang maya justru memproduksi sesuatu yang maya namun terasa nyata. Hal ini sejalan dengan pendapat Immanuel Castels (dalam Hardiman, 338:2010) yang menegaskan bahwa “kekhasan teknologi informasi bukanlah terletak pada kemampuannya mengimbas realitas maya ke dunia nyata, melainkan kemampuannya membangun yang nyata, real virtuality.”

Kemampuan ruang maya ini dalam menghasilkan kemayaan yang nyata berimplikasi langsung pada bagaimana tanggapan pengguna sosial media terhadap eksistensinya di dua ruang tersebut (dunia nyata dan ruang maya). Ia ditekan untuk dapat menciptakan dirinya senyata mungkin di ruang maya. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seseorang menciptakan avatar (representasi dirinya dalam ruang maya) senyata mungkin. Namun apakah avatar yang dibuatnya itu disesuaikan dengan dirinya di dunia nyata?

Sebagaimana keleluasaan akses dunia yang diberikaan oleh ruang maya, individu kerap kali menghasilkan “dia yang nyata” namun berbeda di tiap-tiap ruang maya. Misalnya, di dunia nyata individu tersebut adalah seorang guru agama yang dituntut untuk taat terhadap agama dan memiliki karakter yang tenang, namun di sosial media A ia membentuk alter ego yang agresif, di mana ia adalah sosok yang sangat aktif menyerukan perlawanan terhadap ketertindasan baik melalui kabar di linimasanya atau di kolom komentar. Sedangkan di sosial media B ia adalah sosok yang optimis dan rajin memotivasi orang lain. Jadi bisa dikatakan satu individu dapat memproduksi beberapa alter ego sesuai dengan jumlah platform sosial media yang ia gunakan.

Kembali lagi ke Castells, salah satu kemampuan teknologi informasi adalah menghadirkan efek suatu peristiwa atau entitas secara aktual, padahal peristiwa atau entitas itu sendiri tidak real. Entitas yang dimiliki si guru agama ini ini bukanlah semu, melainkan nyata karena dia menghasilkan pengalaman, namun berbeda dengan identitasnya di dunia nyata pun berbeda pula  dengan entitasnya di tiap sosial media. Perlahan-lahan ruang maya akan berhasil melahirkan “aku yang maya”, dia adalah “aku” yang terhubung dengan pengalaman nyata namun memiliki kondisi “mengada” yang maya di dunia.

Multi entitas yang dimiliki seorang individu akibat interaksinya dengan ruang maya ini dapat berpengaruh pada kondisi identitasnya di dunia nyata. Salah satu pengaruhnya adalah muncul kemungkinan ia untuk sulit kembali ke identitas di dunia nyata karena seringnya melakukan switching entity. Kebingungannya ini pula dapat berdampak pada kecanggungan interaksi sosialnya di dunia nyata. Ini pula disebabkan karena ketercabutan dirinya dari rutinitas dunia nyata akibat lebih tingginya intensitas interaksinya di ruang maya.