Potret Perempuan Bali pada Novel Tarian Bumi
Bali merupakan salah satu pulau di negara Indonesia yang masih memiliki menjalani adat dan budaya secara turun-temurun. Salah satu budaya yang masih dilaksanakan sampai saat ini adalah sistem kasta atau yang lebih dikenal dengan istilah wangsa oleh masyarakat Bali, dimana kata wangsa berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata ‘vamsa’ yang berarti keturunan (Lontar Slokantara, Sloka 19). Terdapat empat golongan wangsa yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Pengolongan wangsa tersebut akan terlihat dari nama yang dimiliki pada setiap orang yang beragama hindu di Bali. Namun, dibalik sistem wangsa yang menjadi salah satu ciri khas dan budaya Bali, terdapat berbagai konflik internal didalamnya yang terjadi dikarenakan sistem ini.
Novel Tarian Bumi merupakan salah satu novel yang membahas mengenai pengaruh wangsa terhadap peranan perempuan di Bali. Pada novel ini diceritakan Luh Sekar merupakan seorang gadis sudra (wangsa terendah) yang memiliki impian untuk menaikan derajatnya dengan dinikahi oleh lelaki yang memiliki wangsa tertinggi yaitu wangsa brahmana. Berbagai upaya dilakukan oleh Luh Sekar dan upaya tersebut berhasil. Namun tidak serta merta membuat hidupnya bahagia, karena ibu mertuanya tidak menyukai pernikahan beda wangsa tersebut. Luh Sekar tetap menjalankan tugasnya sebagai istri meskipun banyak perilaku yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh ibu mertua dan suaminya sendiri. Pernikahan tersebut melahirkan seorang anak perempuan bernama Telaga. Luh Sekar mengharapkan anaknya, Telaga, akan dipersunting oleh lelaki brahmana.
Namun, pada akhirnya Telaga dipersunting oleh laki-laki keturunan (sudra) dan hal tersebut dianggap melanggar nilai-nilai adat karena perempuan harus dinikahi oleh laki-laki yang memiliki wangsa yang sama. Perkawinan ini tentunya tidak mendapat restu dari Luh Sekar. Sementara itu, ibu mertua Telaga juga tidak sepenuhnya menerima perkawinan ini karena kehadiran wanita brahmana dalam keluarga sudra diyakini hanya akan membawa sial dan itu terbukti. Ketika anak Telaga berusia lima tahun, suami telaga ditemukan meninggal di studio musiknya dan banyak hal yang tidak baik terjadi pada keluarga suaminya sejak kedatangan Telaga. Semua itu disebabkan oleh status wangsa brahmana yang masih melekat pada diri Telaga, sehingga ia harus menjalankan upacara pati wangi untuk menanggalkan wangsa brahmana dan menjadi perempuan seutuhanya.
Selain dua hal tersebut, novel ini juga menceritakan tentang kisah dari ibu mertua Luh Sekar yang harus menjadi kepala rumah tangga dikarenakan ia tidak memiliki saudara lelaki yang menyebabkan ibu mertua Luh Sekar menjalani pernikahan nyentana (meminang lelaki). Novel juga memberikan gambaran mengenai pandangan sosial terhadapan wanita yang memilih untuk tidak menikah seumur hidupnya.
Daftar Pustaka
Kertih., W. & Susila., A. J. (2014). Kasta: Modalitas Sosial yang Membanggakan dan Menghancurkan. Seminar Nasional Riset Inovatif II. ISSN: 2339-1553
Lontar Slokantara, Sloka 19
Rusmini, Oka., (2004). Tarian Bumi. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Leave A Comment