ODGJ, Dijauhi atau Diayomi?

Artikel oleh: Sanditiya Kristian S.

 

Menjadi sehat baik sacara jasmani dan rohani adalah keinginan setiap individu di dunia ini. Tidak semua orang ingin merasakan menjadi sakit, khususnya secara mental. Pengertian sehat yang dikemukan oleh WHO ini merupakan suatu keadaan ideal, dari sisi biologis, psikologis, dan sosial sehingga seseorang dapat melakukan aktifitas secara optimal. Dengan artian bahwa batasan sehat menurut WHO meliputi fisik, mental, dan sosial. Namun nampaknya terdapat berbagai banyak hal yang menjadi penyebab seseorang mengalami gangguan mental. Putus cinta, kehilangan orang- prang terkasih, kegagalan dari suatu usaha dapat menjadi salah satu alasan dibalik penyebab seseorang mengalami gangguan kejiwaan.

Menurut Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2014, orang dengan gangguan jiwa yang disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Sedangkan menurut Akemat, Helena, Keliat, Nurhaeni pada tahun 2011 menyatakan gangguan jiwa adalah manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam hal bertingkah laku. Hal ini terjadi karena menurunnya semua fungsi kejiwaan. Disamping itu Akemat, Helena, Keliat & Nurhaeni (2011) juga menyebutkan ciri- ciri orang dengan gangguan jiwa sebagai berikut: sedih bekepanjangan, tidak semangat dan cenderung malas, marah tanpa sebab, mengurung diri, tidak mengenali orang, bicara kacau, bicara sendiri, tidak mampu merawat diri.

Sebuah penelitian yang berkaitan dengan kesehatan jiwa yang dilakukan oleh WHO (World Health Organization) pada tahun 2009 lalu menyatakan secara global, diperkirakan sebanyak 24 juta orang telah menderita skizofrenia. Di Indonesia, menurut Riskesdas (2007) sebanyak 1 juta orang atau sekitar 0,46% dari total penduduk Indonesia menderita skizofrenia. Sedangkan yang mengalami gangguan mental emosional (cemas dan depresi) adalah 11,6% atau sekitar 19 juta penduduk.

Tetapi masih terdapat banyak orang yang melakukan diskrimasi terhadap orang lain hanya karena orang tersebut merupakan orang dengan gangguan kejiwaan. Sering kali orang- orang sekitar atau bahkan masyarakat memiliki stigma negatif terhadap ODGJ. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Health and Social Behavior, 38 persen orang tidak ingin tinggal di sebelah ODGJ, 33% tidak ingin berteman dengan seseorang yang hidup dengan masalah kejiwaan. 58% tidak mau bekerja sama dengan mereka, dan 68% tidak ingin penderita gangguan jiwa menikah dengan keluarga mereka.

Lalu apakah ODGJ harus dijauhi?

Jawabannya adalah tidak. Kita dapat mendukung ODGJ dengan cara sederhana, misalnya, mendukung orang-orang gangguan kejiwaan dan keluarga mereka dengan mengurangi diskriminasi. Cara sederhana untuk membantu termasuk belajar dan berbagi fakta tentang kesehatan mental. Lalu, untuk menghapus stigma, kita juga sebaiknya tidak melabeli atau menghakimi orang dengan penyakit mental. Caranya, perlakuan mereka dengan hormat, seperti kita melakukannya pada orang lain.

Selain itu sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sawitri (2008) menyatakan bahwa Expresed Emosi (EE) keluarga yang tinggi seperti marah, tidak mengerti, dan bermusuhan memiliki resiko kekambuhan yang lebih besar pada pasien skizofrenia. Secara psikologis ODGJ membutuhkan kasih sayang dan perhatian keluarga akibat menurunnya kemampuan aktivitas fisik dan mental. Keluarga adalah garda terdepan dalam menjaga kesehatan jiwa anggotanya dan menjadi pihak yang memberikan dukungan dan pertolongan pertama psikologis apabila tampak gejala yang mengarah pada kekambuhan ODGJ.

Pada akhirnya mereka yang mengalami gangguan jiwa tetaplah manusia yang memiliki hak yang sama seperti semua orang sehat di dunia ini. Agaknya, saling menghormati, menghargai dan mengasihi menjadi sesuatu paling mulia yang dapat kita lakukan untuk tetap bisa hidup berdampingan secara damai dengan mereka yang sedang berjuang melawan suara dalam kepala. Maka dari itu, orang- orang dengan gangguan jiwa sudah selayak untuk tetap diayomi dan di sayangi meskipun ia sedang menjadi sakit.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Afrillia, D. (2018, Oktober 10). Hentikan Stigma Terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa. Retrieved from Beritagar: https://beritagar.id/artikel/gaya-hidup/hentikan-stigma-terhadap-orang-dengan-gangguan-jiwa

Annonymous. (2018, Mei 18). Mencegah Kekambuhan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Selama Pandemi Covid-19. Retrieved from Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang: https://rsjsoerojo.co.id/2020/05/18/mencegah-kekambuhan-orang-dengan-gangguan-jiwa-odgj-selama-pandemi-covid-19/

Annonymous. (2019, Januari 2). Jangan Sebut Mereka “Orang Gila”. Retrieved from Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat: http://rsj.jabarprov.go.id/artikel/baca_artikel/000013

Erlina, S. P. (2010). Determinan Terhadap Timbulnya Skizofrenia pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Jiwa H.B Saanin Padang. Kedokteran Masyarakat, 63 – 70.

Hasmila., S. F. (2011). Dukungan Keluarga Dalam Mencegah Kekambuhan Pasien Skizofrena di Poliklinik Rawat Jalan RSJ Aceh. Idea Nursing Journal, 176 – 186.

Idaini, S. Y. (2019). Prevalensi Psikosis di Indonesia Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, 9 – 16.

Nadya. (2013, Januari 4). Konsep Sehat dan Sakit. Retrieved from Universitas Islam Negeri Alaudin Makassar: https://uin-alauddin.ac.id/tulisan/detail/konsep-sehat-dan-sakit

Suryani SKp., M. P. (2013). Mengenal Gejala dan Penyebab Gangguan Jiwa. Seminar Nasional BEM Psikologi UNJANI, 1 – 11.