Celukan Bawang merupakan tempat dimana 40% dari listrik Bali berasal. Desa ini dikenal sebagai tempat didirikannya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pertama di Bali. Keberadaan PLTU yang dibangun pada tahun 2015 oleh PT General Energy Bali ini telah mengundang banyak kontroversi. Beberapa masyarakat menyayangkan keberadaan PLTU tersebut karena berdampak buruk pada kesehatan dan lingkungan. Selain itu, tanah warga yang rumahnya digusur belum terbayarkan.

Hingga sekarang, beberapa konflik antara PLTU dan warga Celukan Bawang masih berlanjut. Dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya konflik adalah kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Walaupun masalah polusi PLTU sudah diminimalisir, beberapa warga yang masih terganggu akan keberadaan PLTU yang mengambil lahan tempat tinggal mereka sehingga mau tidak mau mereka harus pindah rumah. Pihak PLTU menganggap rumah para warga sebagai obyek dan bukanlah suatu hal yang sangat berharga serta memiliki arti penting bagi warga. Sementara itu, disaat yang bersamaan, warga juga masih beranggapan bahwa PLTU menghasilkan limbah yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan, dimana jika kita lihat kembali faktanya, PLTU tidak seburuk itu.

Secara umum, kita tahu bahwa semua pabrik yang menghasilkan energi pasti memproduksi limbah. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan pada 26-29 Januari, dapat disimpulkan bahwa PLTU Celukan Bawang telah berupaya meminimalsir produksi limbah yang dihasilkan. Proses pembuatan listrik dimulai dengan menguapkan air tawar dari air laut, kemudian uap tersebut akan digunakan untuk memutar turbin sehingga dapat menghasilkan listrik. Dalam proses ini, digunakan sebuah teknologi yang disebut dengan Flue-gas Desulfurization, dimana limbah gas yang diproduksi disiram dengan air laut dan akan menghasilkan sulfur yang akan disaring dan digunakan lagi. Dengan demikian, gas yang dibuang ke udara tidak terlalu berbahaya bagi kesehatan. Sisa dari air tawar kemudian diberikan sifat/kandungan air laut lagi sehingga pada saat dikembalikan ke laut tidak berbahaya bagi makhluk laut.

Melihat dua kondisi diatas, salah satu saran yang kami dapat berikan adalah mengubah cara pandang masyarakat mengenai PLTU Celukan Bawang. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan menyosialisasikan proses pembuatan listrik di PLTU (dengan bahasa yang mudah dimengerti) ataupun bisa dengan melakukan open house untuk semua masyarakat di Celukan Bawang. Dengan begini, diharapkan pandangan buruk masyarakat tentang PLTU bisa dipatahkan dengan melihat proses pembuatan listrik secara langsung. Masyarakat pun dapat lebih mengerti dan menerima keberadaan PLTU di desa Celukan Bawang.

Selain itu, solusi lain yang bisa ditawarkan ke pemerintah ialah menjadikan sebuah pulau khusus untuk pembangkit listrik yang nantinya akan didistribusikan keseluruh daerah di Indonesia. Solusi ini perlu dipertimbangkan agar kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat dapat terpenuhi. Dengan demikian, pemerintah tidak harus menggunakan lahan tempat tinggal masyarakat untuk membangun PLTU serta dapat mengurangi dampak buruk dari segi kesehatan dan lingkungan yang dihasilkan oleh pabrik.