Manusia Padi
Sebuah Renungan Diri
Hidup selalu penuh warna. Terkadang setiap warna memiliki arti masing-masing. Warna-warna inilah yang menghiasi setiap langkah kita. Melaju menuju akhir waktu. Akhir waktu ini sudah pasti. Tinggal menunggu sang waktu menjemput setiap makhluk hidup di dunia ini.
Sebelum sang waktu datang, marilah kita mulai menyiapkan diri. Isilah diri dengan triliunan kebaikan dan kebenaran. Karena kebaikan dan kebenaran adalah bekal kita kelak ketika berjalan bersama Sang waktu menuju alam yang tak menentu. Ibarat padi, ketika masih muda mereka butuh air dan kekar menatap masa depan. Waktu membentuk mereka tumbuh dan berkembang. Dalam berproses ini, sang padi mengisi diri. Isi ini bermanfaat untuk diri sendiri dan juga keberlangsungan makhluk hidup lainnya. Apakah padi pernah mengeluh atau meratap? Kemungkinan iya, namun pernahkah manusia mendengar ratapan sang padi.
Bagaimana dengan manusia? Sedikit tertimpa musibah, meratapnya sampai berdarah. Semua menjadi salah, semua mejadi kambing hitam. Bahkan sampai Tuhan sendiri pun disalahkan. Namun berbanding terbalik, ketita manusia itu sukses seketika itu dia mengelus dada dan berkata, inilah kehebatanku. Dia lupa, kalau dibalik semua itu ada tangan-tangan tak terlihat yang selalu medukungnya.
Itulah perbedaan kita dengan padi. Padi semakin berisi semakin merunduk, sedangkan manusia semakin berisi semakin menatap ke langit tertinggi. Tak ubahnya dengan ilalang. Selalu menghujam ke atas, tanpa sadar bahwa semua ini hanyalah titipan sementara. Ketika waktunya, pastilah diambil semua itu. Oleh karena itu, marilah kita mulai menyadari bahwa segalanya tidak kekal. Jadilah manusia padi yang selalu merunduk, meskipun memiliki jutaan manfaat. Tetap rendah hati dan selalu bersyukur.
Leave A Comment