Berulang, banyak menemukan kata-kata bijak, rambut adalah mahkota wanita. Tidak hanya dalam penayangan iklan sampo, juga pada caption postingan-nya media sosial. Objek penting dalam kalimat tersebut adalah mahkota. Sebuah hiasan kepala yang tidak hanya untuk menghias namun banyak memiliki makna yang berkaitan dengan kekuasaan (kekuatan, dominasi, tanggung jawab, pemimpin dan sebagainya) (Britannica, 2019).
Di Indonesia, juga sejarah dunia lainnya, mahkota merupakan penanda penting dalam politik kepemimpinan. Raja, pemimpin umum sistem monarki maupun kesultanan terasa sangat bersahabat dengan mahkota. Jika dimasa kini ada surat tugas maupun surat keputusan yang dilengkapi dengan pengukuhan atau pelantikan. Pada masa kerajaan, penobatan raja atau pemimpin kerajaan atau suatu wilayah pengukuhan lebih terpandang dengan pemasangan mahkota kerajaannya. Tidak hanya untuk laki-laki. Mahkota pun diberkati untuk pasangannya, sang ratu. Maka sebenarnya, mahkota lebih diidentikkan untuk laki-laki, karena sosok tersebut menjadi pemimpin utama yang mendominasi di masa-masa tersebut.
Namun sayang, semakin masuk ke masa kini, mahkota rasa-rasanya hanya digunakan perempuan bukan? Coba perhatikan pagelaran pemilihan putera puteri kecantikan tingkat daerah sampai ke tingkat internasional. Misalnya saja, Miss Supranational[1] versus Mister Supranational[2]. Meskipun kedua pemenang dianugerahi mahkota, saat masa menjabat hanya Miss Supranational yang aktif menggunakan mahkota biru lautnya, sedangkan Mister Supranational, tidak. Mister Supranational hanya bertugas tanpa menggunakan mahkota. Dapat pun dijelaskan, pada masa kini terjadi pergeseran makna filosofis pada mahkota condong kepada keberadaan atau eksistensi perempuan.
Dalam kebudayaan Indonesia, perayaan sakral seperti upacara kelahiran, pernikahan dan kematian, sejak awal mula sekali hanya dapat dilakukan oleh kalangan bangsawan dan kerajaan saja. Hal ini tentu karena mereka adalah istimewa, yang dipertuankan. Dan berdana besar. Dan memiliki masa untuk dipekerjakan dalam gotong royong. Begitu bukan? Untungnya kini perayaan-perayaan tersebut dilakukan oleh semua pihak asal ada dananya. Lalu apa hubungannya dengan mahkota? Betul, berkaitan dalam acara yang cukup sakral karena merupakan penyatuan dua kerabat, dimasa atau zaman itu bisa-bisa peleburan dua kerajaan. Mempelai menggunakan sarana yang mewah dan berkilau. Mari, coba kita ingat-ingat pelajaran Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan mengenai keberagaman di Indonesia, khazanah baju adat dan baju pernikahan di Indonesia.
Dalam budaya pernikahan di Indonesia, mahkota adalah hal yang harus dan pasti ada, terutama jika adat tersebut datang dari keluarga bangsawan dan kerajaan. Namun meskipun budaya itu berkembang dari suku nomaden pedalaman hutan Indonesia, misalnya, beberapa baju adat di Sumatera, suku Batak Toba, Batak Samosir, maka mahkota bisanya berbentuk lebih sederhana yaitu berupa pengikat kepala dengan kain ulos dan motif ukir bercorak emas lainnya (artisanalbistro, 2019). Hingga saat ini masih menjadi pembicaraan masyarakat mengenai pernikahan secara adat yang memakan biaya besar terutama untuk riasan pengantin, utamanya pengantin wanita. Ya, mau bagaimana lagi? adat ini berkembang di keluarga kerajaan tentu memiliki banyak kuasa atas segala sumber daya di tanahnya. Namun hal ini tak mengurungkan niat untuk ikut melestarikan budaya itu yang bercampur juga dengan usaha menaikkan gengsi. Seakan-akan semakin rumit riasan yang digunakan dalam adat tertentu semakin tampak bermartabat.
Namun banyak yang sepertinya kurang memahami. Jika dianalogikan pada mahkota raja, maka sejatinya mahkota adalah beban sang raja dan raja harus mampu mengendalikan kepala tersebut untuk mendapatkan cara dan jalannya sendiri sebagai pemimpin. Dalam pakaian pengantin di Indonesia, pengantin wanita dan laki-laki apabila dibandingkan, mahkota jelas lebih besar, berat, dan mewah pada riasan perempuan. Perhatikan beberapa dokumentasi pakaian adat pernikahan di bawah ini.
Coba lihat lagi gambar yang muncul di awal artikel ini. Tenang, gambar tersebut hanya untuk mengimajinasikan mahkota yang sedang dibahas, tidak untuk kepentingan lainnya. Pakaian dan serba-serbi pernikahan tradisional memiliki ciri khas masing-masing di tiap daerahnya. Hal ini berkaitan dengan kondisi alam, kebudayaan, historis, bahkan legenda dan mitos pun memiliki andil yang kuat dalam perkembangan penciptaan budaya yang terwujud dalam perhiasan, tata rias dan lainnya namun, hal tersebut tetap mengandung gagasan dan filosofis masing-masing (Ningtyas dan Faidah, 2013).
Suntiang, mahkota hiasan dalam baju adat pernikahan melayu memiliki makna bahkan dalam motif bunga yang dipilih untuk susunan mahkota. Motif bunga seperti mawar, melati, kecubung, akar sulur dan cempaka secara umum melambangkan tanggung jawab terhadap pasangan, keindahan, naik tingkat dalam mengemban tanggung jawab dan bertanggung jawab atas pasangan adalah hal yang harus dilewati dengan kuat dan penuh dengan keinginan memberi. Suntiang secara utuh melambangkan tingginya tanggung jawab yang akan diemban oleh seorang perempuan yang kini telah dewasa yang senantiasa harus paling awal atau pertama dipikirkannya (Mustika dan Budiwirman, 2019).
Gelungan payas agung, merupakan mahkota hiasan dalam baju adat pernikahan suku bali memiliki makna pada setiap benda dan pakem bunga yang menyusunnya. Aksesoris tersebut antara lain adalah petites tajuk dan bunga sasak, bunga bancangan dan puspa limbo, gelung agung, sandat emas, kap emas, garuda mungkur, dan kompyong. Secara umum aksesoris tersebut menjadi doa dan penanda kedewasaan seorang perempuan yang berani melepaskan diri dari asuhan orang tua dengan membangun tanggung jawab barunya lagi. Susunan bunga cempaka emas membentuk gunung mendoakan agar pengantin dipenuhi keagungan (kekuasaan atas rumah tangganya) dan keharmonisan yang tak lekang oleh waktu. Selain itu juga mengenai pengharapan doa dari triwarna bunga cempaka dan kenanga pada Tri Sakti diemban dan dibawa oleh kepala perempuan. Hanya doa-doa lewat aksesoris untuk kewibawaan dan kesuburan yang muncul pada kedua mempelai pria dan wanita yaitu garuda mungkur (Wulandari dan Mutimmatul, 2015).
Berdasarkan dua hiasan kepala pengantin, dapat dibayangkan mengenai makna filosofis mahkota lainnya yang kurang lebih akan serupa untuk pengantin wanita. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa, hiasan mahkota pengantin perempuan membuktikan keagungan perempuan untuk mengemban tanggung jawab berat dengan berkah keindahan (dalam kasus ini menggunakan bunga) dan penggunaan warna emas yang berkaitan dengan harta. Bukankah berarti input-proses-output yang diharapkan dalam pernikahan dilakukan oleh perempuan karena dipasangkan pada perempuan? Hal ini menjadi perdebatan pada kelompok-kelompok pembela keadilan yang menganggap wanita menjadi korban dalam pernikahan. Hal ini diperkuat oleh makna filosofis kalung dan gelang dengan ukuran besar yang digunakan pengantin, yaitu terkurung dan terikat (Hutami, 2019). Sedangkan jika dibandingkan dengan aksesoris laki-laki dominan adalah senjata tajam yang secara umum mudah dibaca artinya yaitu perlindungan dari bahaya.
Mengesampingkan mengenai tuntutan gender dalam makna filosofis, sebagai perempuan harus menyadari bahwa nenek moyang mengekspresikan kemampuan dan harapannya kepada perempuan selanjutnya sangat apik dan elegan. Tanpa perlu mengadakan seminar untuk memberitahu apa yang harus menjadi bekal dalam pernikahan, budaya yang terwujud dalam mahkota pakaian adat pernikahan menjadi hal yang sangat penting dipahami dan dilatih.
Di Indonesia, organisasi HARPI Melati atau Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia sepertinya punya peran ekstra dalam mempertahankan pakem tradisional tata rias, aksesoris dan pakaian pernikahan adat. Hal ini seharusnya dapat menjadi cerminan bagi lembaga yang mengurusi terkait pernikahan misalnya KUA (Kantor Urusan Agama) untuk warga negara beragama Islam. Seminar pranikah tidak hanya mengenai pembagian harga pasca perceraian dan hukum tata waris kepada ahli waris, namun juga dapat bekerja sama dengan HARPI Melati. Lembaga ini bukanlah Lembaga yang berkaitan dengan mode dan tata rias saja, kajian dan pengetahuan filosofis dalam pernikahan adat tradisional menjadi tanggung jawab mereka juga. Pengetahuan mengenai filosofi mengangkat beban baru bagi perempuan yang menikah dengan cara adat bukan untuk memberi tahu bahwa ia akan terjebak dalam beban. Namun lebih kepada “saya perempuan saya harus berisap sebagai seseorang yang melangkah pertama dalam keputusan keluarga”, dan “saya laki-laki harus tahu bagaimana melindungi dan memprediksi ancaman yang muncul, sehingga saya berada minimal dua langkah di depan langkah pertama pasangan saya”.
Daftar Rujukan:
Artisanlabistro. (2019). 10 Pakaian Adat Sumatera Utara yang Menarik (Beragam Uniknya). https://www.artisanalbistro.com/pakaian-adat-sumatera-utara/
Britannica. (October 18, 2019). Crown – head ornament. https://www.britannica.com/topic/crown-headwear.
Hutami, K. M. Widi, I. D. A. M. Budhyani, I.G. Sudirtha. (November 3rd, 2019). Tata rias pengantin Kabupaten Tabanan. Jurnal Bosaparis. Volume 10 nomor 03 tahun 2019.
Mustika, Wira Gusti dan Budiwirman. (2019). Analisis fungsi dan makna suntiang dalam pakaian adat Minangkabau. Gorga Jurnal Seni Rupa. Volume 08 Nomor 02 Juli-Desember 2019. p-ISSN: 2301-5942 | e-ISSN: 2580-2380.
Ningtyas, Asmaus Salama Suwita dan Faidah. (2013). Representasi Budaya Tata Rias Pengantin Malang Keputren dan Malang Keprabon. E-Journal Tata Rias Unesa. Volume 02 Nomor 01 Tahun 2013.
Wulandari, Ni Putu delia dan Mutimmatul Faidah. 2015. Bentuk, fungsi dan makna tata rias dan prosesi upacara perkawinan Bali Agung di Bali. E-journal Tata Rias Unesa. Volume 04 Nomor 02Tahun 2015, Edisi Yudisium Periode Juni 2015, hal 29-34.
[1] Ajang beauty peagent untuk perempuan dari Polandia
[2] Ajang beauty peagent untuk laki-laki dari Polandia
Leave A Comment