Kristina
Makhluk hidup secara umum dikelompokkan menjadi hewan dan tumbuhan. Ya benar, manusia ada dalam kelompok hewan. Kelompok tersebut hanya menggambarkan secara umum, makhluk sederhana dengan ukuran kecil pun dikelompokkan juga secara sederhana menjadi mirip hewan maupun mirip tumbuhan. Dahulu, tahun 1735, pengelompokan ini disahkan dan digunakan secara umum oleh bapak taksonomi, Carolus Linnaeus. Dasar pengelompokan ini sangat sederhana yaitu kemampuan bergerak aktif dan kemampuan menghasilkan bahan pokok seperti karbohidrat, protein, lemak dengan lengkap lewat reaksi kimia dalam tubuh (NCERT, 2019).
Hewan, sebagai kelompok dengan ciri aktif bergerak dapat menjadi contoh paling umum Ketika membicarakan ciri makhluk hidup. Ciri makhluk hidup sebenarnya berhubungan satu sama lain untuk dapat melaksanakan ciri akhir. Mari kita bahas ciri tersebut. Dalam pelajaran sekolah kita mengapalkan beberapa ciri makhluk hidup bukan? Sebenarnya ciri tersebut dibagi menjadi tiga saja: bertumbuh, menyelamatkan diri, dan berkembang-biak. Bagaimana bisa? Bagaimana ciri yang lain? Yang banyak-banyak kita hafalkan? Begini:
Tumbuh
Untuk dapat tumbuh, manusia perlu makan, dan makanan itu diolah lewat metabolisme. Untuk menjalankan hal itu, membutuhkan nutrisi di lanjutkan dengan respirasi, terjadilah peristiwa metabolisme itu dalam tubuh. Fungsinya apa? Menyediakan bahan untuk bertambah besar, menyediakan bahan untuk membuat organ berfungsi baik (berkembang), dan energi untuk melaksanakan cir yang lain.
Menyelamatkan diri
Bertahan hidup adalah insting dasar yang dimiliki setiap makhluk hidup dan paling kentara pada hewan bukan? Insting mengenali induk, insting berlindung pasca-menetas, dll. Banyak hal yang kita lakukan untuk melindungi diri. Salah satunya adalah dengan bergerak. Bergerak adalah kemampuan yang kita dapat setelah memiliki ciri sebelumnya bukan? Ya, setelah kemampuan bergerak kita miliki kita dapat menjalankan kehidupan yang dimaksud. Semakin lama kehidupan menjadi semakin sulit, kompetisi, seleksi akibat perubahan alam dan lain-lain. Kemampuan bergerak menjadi lebih spesifik menjadi ciri yang lain yaitu peka terhadap rangsangan (irritabilitas) dan beradaptasi. Kedua hal ini merupakan bagian dari gerak khusus yang diinformasikan oleh otak dan endokrin. Misalnya: lari kencang dan mampu melewati tembok saat dikejar anjing galak. Dalam tubuh kita, akibat metabolisme ada produk sampingan yang bersifat racun. Agar tidak lekas wafat, tubuh meregulasi pengeluaran zat itu lewat peristiwa yang nama kerennya ekskresi.
Berkembang biak
Jika telah tumbuh dan mampu bergerak. Menjadi dewasa dan organ telah matang seluruhnya, perlu apa lagi makhluk hidup? Ya hanya satu hal yang belum. Berkembang-biak. Jadi secara biologis, tujuan hidup adalah melestarikan jenis. Agar tidak punah, tidak sendirian. Namun, perubahan adalah hal yang kekal. Manusia lebih kompleks, tujuan hidupnya berubah, mulai dari menimbun warisan, hingga mengukir sejarah dengan namanya.
Coba kita fokus pada kejadian mempertahankan diri. Misalnya gerakan refleks tarik selimut saat kedinginan, memukul teman saat kaget, juga mengisap jari yang tersentuh panci panas atau terluka gores. Semua hal itu secara alami dilakukan berdasarkan naluri. Saat tersentuh permukaan panas misalnya panci panas atau air panas. Tubuh refleks menarik bagian tersebut, tidak jarang orang akan segera mengisap sehingga bagian luka dapat terlumur saliva. Tak jarang, beberapa orang juga akan meniup-niup bagian yang terkena panas tersebut. Kejadian ini sangat terbayang dan dilakukan tanpa diajari.
Saliva manusia mengandung cairan buffer untuk kontrol keasaman dalam mulut, beberapa jenis asam amino – protein yang berperan dalam fungsi pencernaan dan antibakteri (Humprey and Williamson, 2001). Antibakteri ini dilakukan oleh imunoglobulin, yaitu protein dalam tubuh yang dibentuk sebagai antibodi alias kekebalan tubuh untuk menetral zat asing yang masuk. Selain itu, beberapa jurnal kedokteran gigi oleh Pedersen (2018) dan Bhatia (2018) menyampaikan bahwa secara alami saliva merupakan tempat alami untuk beberapa jenis bakteri tumbuh. Bakteri tersebut bersifat antagonis terhadap bakteri patogen. Secara tak langsung bakteri tersebut dipelihara untuk menyerang kuman penyakit dalam skala kecil.
Sehingga dapat ditarik simpulan sederhana, bahwa hal yang menjadi kebiasaan hampir banyak hewan tingkat tinggi bukan sekedar kebiasaan, namun insting atau naluri untuk menyelamatkan diri. Air liur atau saliva tersebut paling tidak menjadi pelindung tambahan agar kuman penyakit tidak sempat masuk dalam tubuh lewat bagian kulit yang rusak karena cedera. Luka-luka ringan tentu baik dengan insting ini, namun luka dengan banyak darah, jangan sampai tertelan. Dengan kandungan zat besi, akan menjadi karat dalam lambung saat bercampur dengan asam lambung, hal ini membahayakan nyawa jika terakumulasi banyak dalam lambung dan usus.
Selain dengan cara yang disebut tadi. Beberapa kejadian cedera oleh objek panas sering pula dengan mengaliri air dengan suhu lebih dingin atau ditiup-tiup. Namun sebelum mengalami tindakan ini, perlu kita mengenal tingkat luka bakar yang dimiliki. Dilansir dari laman healthline.com luka bakar ada tiga tingkatan. Luka derajat satu adalah luka ringan yang tidak menyebabkan luka parah pada jaringan dasar kulit. Memunculkan kemerahan serta rasa perih di daerah yang sama. Penyembuhan berlangsung relatif cepat bahkan tanpa diobati. Beberapa di temukan pergantian kulit ari yang mati karena tersentuh objek panas. Derajat dua adalah luka cukup parah yang menimbulkan mengerut atau mengembangnya sel epidermis kulit, menyebabkan kemerahan parah dan rasa perih yang tak jarang tidak bisa ditahan. Jika kulit epidermis tidak robek, maka akan muncul cairan di antara dasar kulit dan kulit ari yang rusak. Penyembuhan butuh waktu lama dan antibiotik. Derajat tiga adalah derajat parah karena panas merusak hingga ke jaringan saraf kulit. Luka menyebabkan perubahan warna kulit menjadi keputihan di sekitar luka, sedangkan luka sendiri bisa bervariasi. Penyembuhan lama dan kulit tidak bisa kembali ke lapisan jaringan yang serupa bahkan banyak kasus membutuhkan transplan untuk memperbaiki kerusakan (Kahn, 2019).
Penjelasan tersebut memberikan kita kesimpulan bahwa naluri tiup-tiup dan mengaliri dengan air yang suhunya lebih rendah hanya dapat menyelesaikan luka bakar derajat satu. Dalam telaah jurnal Burn Care and Rescue milik Nielson et. al. (2017) menyampaikan bahwa luka, terutama luka bakar memiliki patofisiologi yang luas hingga ke banyak sistem tubuh. Saat terpapar panas penyebab luka, sel-sel kulit di permukaan mengalami kerusakan, hal ini mengakibatkan ujung saraf-saraf tanpa selaput menjadi ter-trigger mengirimkan sinyal rasa sakit ditambah pula saraf yang khusus mendeteksi panas akan memberikan sirene bahaya yang membuat otot sekitar menjadi lebih berkontraksi secara refleks. Kedua kejadian ini mengakibatkan rasa kaget dan sakit yang terasa meledak dalam waktu se-per-sekian detik. Refleks sebenarnya saat merasakan panas adalah mencari sesuatu yang lebih dingin, oleh sebab itu refleks kita merendam atau menghidupkan kran untuk melumuri luka tersebut. Secara fisiologi atau fungsi tubuh. Saat kita mengaliri dengan air relative lebih dingin, hal ini akan memberhentikan kerja saraf ruffini (pendeteksi panas) dan kekacauan informasi lebih mereda. Selanjutnya adalah rekannya, saraf krause (pendeteksi dingin), yang bekerja. Ini akan menimbulkan psikologi sedikit lebih rileks, sehingga otot mulai relaksasi disekitar luka. Lama-kelamaan, air mulai menyerap dan memasuki sel dan jaringan kulit sehingga ujung saraf tak berselaput tadi tidak lagi tertekan oleh sel rusak. Hal ini lagi-lagi, keduakalinya, akan menurunkan rasa sakit yang ditimbulkan oleh sirene bahaya tubuh. Dalam kesempatan itu, tubuh akan meregulasi energi untuk perbaikan sel lebih baik. Mengapa lebih baik? Karena tidak perlu buang energi karena kemunculan rasa panik akibat rasa sakit tadi. Dari sini, tentu kita bisa paham bagaimana efisiennya kerja tubuh menangani luka, bukan? Hal medis yang perlu diingat, bukan karena rasa dingin tadi menyelamatkan, maka semakin dingin akan semakin baik. Tidak, jangan! Hal ini akan mengakibatkan hal fatal baru, apa itu? Kematian sel akibat hipotermia. Sel juga bisa hipotermia, kedinginan, mesinnya tidak mau jalan. Jadi, ya sia-sia, selnya semakin rusak, bekas luka semakin jelas, bahkan rasa skit bisa lebih besar.
Referensi:
Bhatia, Sonu. (Januari 2018). Oral Microbiome and Health. AIMS Microbiology, 4(1): 42–66. DOI: https://doi.org/10.3934/microbiol.2018.1.42
Humphrey, Sue P., and Russel T. W. (2001). A review of saliva: Normal composition, flow, and function. The Journal of Prosthetic Dentistry, Volume 85, ISSUE 2, P162-169. DOI: https://doi.org/10.1067/mpr.2001.113778
Kahn, April. (Maret, 2019). Burns: Types, Treatments, and More. Healthline. https://www.healthline.com/health/burns
National Council of Education Research and Training [NCERT]. 2019. Biology Textbook for Class XI – Chapter 2. Accessed on https://ncert.nic.in/textbook.php?kebo1=ps-22
Nielsen, P. D., et al. (2017). Burns: Pathophysiology of Systemic Complications and Current Management. Journal of Burn Care and Rescue, 38: e 469–e481. DOI: https://doi.org/10.1097/BCR.0000000000000355
Pedersen, Anne M. L., and Daniel B. (Agustus 2018). The role of natural salivary defences in maintaining a healthy oral microbiota. Journal of Dentistry Elsevier 80 (2019) S3 – S12. DOI: https://doi.org/10.1016/j.jdent.2018.08.010
Leave A Comment