Ketika membahas mengenai ilmu perkembangan anak ataupun pedagogi, kita kerap kali dikenalkan dengan berbagai teori-teori mengenai tahapan perkembangan anak. Teori tahapan perkembangan anak ini umumnya berisi patokan atau milestone keberhasilan anak untuk berkembang secara ideal sesuai dengan usianya. Misalnya, anak usia 3-5 tahun digolongkan dalam tahap A, dan pada tahap A tersebut anak “seharusnya” atau “diharapkan” sudah mampu mengenali peran individu-individu di lingkungan sosial terkecilanya (read: rumah).
Para ahli ataupun psikolog yang mencetuskan tahapan-tahapan ini biasanya menggunakan satu faktor pengukur perkembangan. Contoh saja teori tahap perkembangan moral oleh Lawrence Kohlberg, Kohlberg sendiri mengembangkan teori ini karena ia terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Dalam teorinya, Kohlberg memetakan ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya.
Adapun 6 tahapan perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg, yakni: 1) tahap moralitas heteronom, 2) tahap individualism dan pertukaran, 3) tahap harapan bersama dan konformitas antar pribadi, 4) tahap sistem sosial, 5) tahap kontrak sosial, dan 6) tahap prinsip etik universal.
Praktisi perkembangan anak dapat menggunakan teori 6 tahapan tersebut apabila ia ingin melihat perkembangan penalaran moral anak. Dibutuhkan observasi berulang pada tingkah laku, sikap, maupun sifat untuk akhirnya dapat menggolongkan bahwa seorang anak baru mendapai tahap perkembangan moral A dalam hidupnya.
Sayangnya, kategorisasi ini dapat membahaykan apabila pengamatan atau observasi dilakukan secara insidental pada satu tindakan unik yang muncul dan dianggap mewakili perkembangan moral individu tersebut. Contohnya, seorang individu dinyatakan sudah berkembang sampai tahap 6 karena ia tiba-tiba memberikan kursi pada seorang ibu hamil di angkutan umum. Pada tahap 6 sendiri menyatakan bahwa moral individu sudah bergerak berdasarkan etika universal, jadi dalam kasus di atas, memberikan kursi pada seorang ibu hamil adalah etika universal.
Pertanyaannya sekarang, apakah ia selalu mendasarkan tindakannya pada kesadaran akan etika universal? Atau tindakannya tadi hanya didasarkan pada reflek saja? Maka dalam ketegorisasi ini perlu halnya diperhatikan mengenai kesadaran yang melatarbelakangi tindakannya. Bisa saja ia memberikan kursi terhadap ibu tersebut karena takut terkena social judgement, bukan karena ia sadar hal tersebutlah yang baiknya dilakukan.
Lebih bahaya lagi apabila kategorisasi dangkal ini dijadikan sebagai bahan judgement terhadap karakter individu tersebut. Akan sangat beruntung jika judgement yang muncul adalah hal yang baik, lalu bagaimana jika judgement yang diberikan adalah hal buruk?
Seperti halnya judgement yang diberikan pada sopir selebriti Almh. Vanessa Angel, di mana ia di cap sebagai pembunuh atau orang yang egois karena dianggap sengaja membanting stir mobil ke arah kiri ketika ia kehilangan kendali. Padahal tindakannya tersebut bisa saja didasarkan atas reflek atau insting manusia dalam mempertahankan diri. Tak ada kesadaran reflektif atau kesempatan perhitungan logika mengenai tindakan yang mesti ia lakukan pada durasi waktu pra kejadian atau pra tindakan. Maka baiknya, kategorisasi dilakukan dalam interval waktu yang panjang dengan memperhatikan secara lebih dalam lagi mengenai motif serta kesadaran individu pra-tindakan. Sehingga kedangkalan kategorisasi dapat terhindarkan.
Leave A Comment