MAMPIR

Tadi aku mampir ke tubuhmu

tapi tubuhmu sedang sepi

dan aku tidak berani mengetuk pintunya.

Jendela di luka lambungmu masih terbuka

dan aku tidak berani melongoknya.

(2002)

 

Puisi di atas merupakan puisi karya Joko Pinurbo di tahun 2002. Puisi ini masuk dalam buku antologi beliau yang diterbitkan tahun 2005 dengan judul buku Pacar Senja. Joko Pinurbo adalah penyair Indonesia yang lahir pada tahun 1962 adalah sastrawan aktif Indonesia yang dikenal sebagai pujangga jenaka dan ironi. Puisinya bermacam genre, namun, persona dalam simbol puisi sangat kental. Puisi-puisi beliau mengusung objek seperti celana, serta bagian-bagian rumah. Memahami puisi adalah hal yang menyenangkan. Puisi tidak lagi terukir pada siapa penulisnya, dimana dilahirkan atau kapan peristiwa itu. Puisi yang ditulis dan terpublikasi dapat menyeret pembaca pada arti-artinya sendiri. Seseorang pernah berkata begini “puisi bukan miliki pujangganya lagi jika sedang dipahami maknanya” saat  saya kuliah bahasa Indonesia di awal tahun 2014 lalu. Tentunya, hal ini juga perlu dipikir baik-baik, kajian pemaknaan dengan teori-teori tentu akan berbeda dengan pemaknaan individu.

 

Pusi pendek yang dimunculkan di awal tulisan ini sudah tampak membingungkan, jika dalam pelajaran bahasa Indonesia kita akan menduga majas yang digunakan adalah personifikasi. Berkaitan dengan hal itu maka kita akan menerjemahkan “mampir ke tubuhmu” menjadi “mampir ke rumahmu” atau lokasi yang dimaksudkan. Sayangnya personifikasi adalah memper-orang benda. Sedangkan dalam kalimat tersebut, kita membendakan orang. Apabila dipikir kembali, sebenarnya yang mengalami majas bukan kata tubuhmu, melainkan mampir. Mampir itu juga punya sinonim dengan hadir. Jadi kehadiran si “aku” pada diri si “-mu”, hadir dalam kehidupan, hadir dalam pikiran, dan hadir atau keberadaan yang lainnya.

 

Kalimat lengkap “Tadi aku mampir ke tubuhmu tapi tubuhmu sedang sepi dan aku tidak berani mengetuk pintunya” memberikan gambaran bahwa “aku” hadir, namun melihat keadaan sepi dan si “aku” pun tidak melanjutkan ke mengetuk pintu untuk menandakan kehadiran dan keinginan berkunjung.

 

Kalimat terakhir puisi “Jendela di luka lambungmu masih terbuka dan aku tidak berani melongoknya”. Menyerukan gambaran ke-tidak-beranian “aku” melihat ke dalam jendela yang terbuka. Mungkin aku tidak mau karena jendela itu dari “luka”. Luka adalah bukti rasa sakit, kenangan buruk, cedera. Lambung adalah pusat menampung makanan.

Dalam dunia Pendidikan, kegiatan belajar sepanjang hayat, puisi ini dapat menganalogikan keadaan seseorang yang sepi ilmu pengetahuan – sepi lirik. Sedangkan aku adalah ide yang datang berkunjung. Ide tidak jadi datang karena “tubuhmu” kosong. Ditambah lagi jendela yang terbentuk karena luka. Dalam belajar, kegagalan biasanya membentuk kenangan tidak mau belajar lagi. Membentuk luka yang membuat tubuh tidak mau mengisi diri lagi. Kegagalan membuat seseorang membiarkan tubuh kosong, tidak mengisi ilmu lagi. Akibatkannya ide-ide cemerlang enggan mampir.

Kesimpulannya, jika ingin memiliki ide cemerlang maka kita harus banyak belajar. Perbanyak membaca agar dapat menulis, perbanyak mendengar agar bisa bercakap. Meski ada jendela luka, bisa saja ide datang untuk menyembuhkan luka sehingga jendela mendatangkan angin lebih segar dalam tubuh.

Disclaimer: dalam banyak kajian ilmiah dan diskusi puisi, puisi ini sebenarnya bermakna tubuh (rahim/perut) perempuan yang masih luka setelah melahirkan, si “aku” adalah suaminya yang akan “mampir” tapi tidak jadi karena melihat masih ada luka.

 

Bukan ahli puisi,

 

Kristina